Cari Blog Ini

Sabtu, 21 Januari 2012

Hemoglobin alias Hb

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

            Hemoglobin adalah zat warna dalam sel darah merah yang berguna untuk mengangkut oksigen dan karbondioksida. Mioglobin dan hemoglobin ialah zat warna merah pada daging yang tersusun oleh protein globin dan heme yang mempunyai inti berupa zat besi. Heme merupakan senyawa yang terdiri dari dua bagian, yaitu atom zat besi dan suatu cincin plana yang besar yaitu porfirin. Porfirin tersusun oleh 4 cincin pirol yang dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh jembatan meten. Heme juga disebut feroprotoporfirin. Baik hemoglobin maupun mioglobin memiliki manfaat serupa, yaitu berfungsi dalam transfer oksigen untuk keperluan metabolisme (Sandjaja dkk, 2010)
A.    Sifat alorterik hemoglobin disebabkan oleh struktur kuaternernya.
       Sifat masing-masing hemoglobin merupakan konsekuensi struktur kuaterner serta struktur sekunder dan tersiernya. Struktur kuaterner hemoglobin juga memberi sifat tambahan yang tidak terdapat pada mioglobin monomerik sehingga hemoglobin dapat beradaptasi dengan peran biologisnya yang unik. Selain itu sifat alosterik (Yn allos “lain”, steros “ruang”) hemoglobin merupakan model untuk memahami protein-protein alosterik lain (Murray dkk, 2009).
       Hemoglobin adalah tetramer yang terdiri dari pasangan dua subunit polipeptida yang berlainan. Huruf Yunani digunakan untuk menamai masing-masing jenis subunit. Komposisi subunit hemoglobin utama adalah α2β2 (HbA ; Hemoglobin dewasa normal), α2γ2 (HbF ; Hemoglobin janin), α2S2 (HbS ; Hemoglobin sel sabit), dan α2δ2 (HbA2 ; Hemoglobin dewasa minor). Struktur primer rantai β, γ, dan δ pada hemoglobin manusia bersifat tetap (Murray dkk, 2009).
B.    Banyak hemoglobin mutan pada manusia telah berhasil diidentifikasi
       Mutasi di gen-gen yang menyandi subunit α atau β hemoglobin berpotensi memengaruhi fungsi biologis hemoglobin. Namun hampir semua lebih dari 900 hemoglobin mutan pada manusia yang telah diketahui sangat jarang ditemukan dan jinak tanpa menimbulkan masalah klinis. Jika suatu mutasi memang menimbulkan gangguan fungsi biologis, keadaanya disebut hemoglobinopati. Beberapa contoh diberikan berikut ini (Murray dkk, 2009).
1.    Methemoglobin dan Hemoglobin M
       Pada methemoglobinemia, besi heme adalah ferri dan bukan ferro. Jadi, menthemoglobin tidak dapat mengikat atau mengangkut O2. Secara normal, enzim methemoglobin reduktase mereduksi Fe3+ methemoglobin menjadi Fe2+. Methemoglobin dapat terbentuk oleh oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ sebagai efek samping obat, seperti sulfonamid, dari hemoglobin M herediter, atau akibat berkurangnya aktifitas enzim methemoglobin reduktase.
       Pada hemoglobin M, histidin F8 diganti oleh tirosin. Besi pada HbM membentuk komleks ionik ketat dengan anion fenolat tirosin yang menstabilkan bentuk Fe3+. Di varian hemoglobin M rantai α, keseimbangan R-T menguntungkan keadaan T. Afinitas oksigen berkurang, dan efek Bohr tidak dijumpai. Varian hemoglobin M rantai β memperlihatkan pertukaran R-T hingga terjadi efek Bohr.
2.    Hemoglobin S
       Pada HbS, asam amino nonpolar valin menggantikan residu permukaan polar Glu6 subunit β yang membentuk suatu “sticky patch” (bercak lengket) hidrofobik pada permukaan subunit β baik oksiHbS maupun deoksiHbS. Baik HbA maupun HbS mengandung  satu sticky patch komplementer pada permukaan yang terpajan hanya pada keadaan terdeoksigenasi, yaitu keadaan R. Jadi, pada PO2 rendah, deoksi HbS dapat mengalami polimerisasi menjadi serat panjang yang tidak larut. Pengikatan deoksiHbA mengakhiri polimerisasi serat karena HbA tidak memiliki sticky patch kedua yang diperlukan untuk mengikat molekul Hb yang lain.
       Salah satu fungsi dari kadar hemoglobin dalam darah adalah menjaga kondisi kesehatan. Kadar hemoglobin yang cenderung normal akan memungkinkan seseorang mempunyai ketahanan dalam berkonsentrasi pada sesuatu hal, termasuk berkonsentrasi dalam belajar (Wijayanti, 2005).
       Wirakusumah (1999) dalam skripsi Irianti (2008) menyatakan bahwa anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih rendah dari normal. Anemia bisa juga berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran atau jumlah eritrosit atau kandungan hemoglobin. Anemia yang paling umum ditemukan di masyarakat adalah anemia gizi besi. Terjadinya anemia gizi besi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kandungan zat besi dalam makanan sehari-hari, penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, adanya parasit dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, diare, kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi karena penyakit.
       Anemia gizi disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorpsi. Zat gizi yang bersangkutan adalah besi, protein, piridoksin (vitamin B6), yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan besi dari transferin ke dalam jarangan tubuh, dan vitamin E yang mempengaruhi stabilitas membrane sel darah merah (Almatsier, 2005).
      Wirakusumah (1999) dalam skripsi Irianti (2008) menyatakan bahwa anemia gizi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Artinya, konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Semakin berat kurangnya kadar zat besi yang terjadi, akan semakin berat anemia yang diderita. Anemia gizi besi berakibat buruk bagi penderita terutama bagi golongan rawan gizi yaitu anak balita, anak sekolah, remaja, ibu hamil dan ibu menyusui serta pekerja terutama yang berpenghasilan rendah. Pada anak dan remaja yang terkena anemia gizi akan terganggu pertumbuhan fisik dan perkembangan. Selain itu, aktivitas fisiknya juga akan menurun.
Jumlah darah yang keluar selama periode menstruasi normal telah dipelajari oleh beberapa kelompok peneliti yang menemukan bahwa jumlah berkisar antara 25 ml sampai 60 ml. Pada konsentrasi hemoglobin (Hb) normal yaitu 14 gr/dl dan konsentrasi besi Hb 3,4 mg/gr, volume darah ini mengandung besi sekitar 12 sampai 29 mg dan mencerminkan pengeluaran darah ekuivalen dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi setiap hari selama siklus, atau dari 150 sampai 400 mg per tahun. Karena jumlah besi yang diserap dari makanan biasanya cukup terbatas, maka pengeluaran besi yang tampaknya tidak berarti ini menjadi penting karena ikut menurunkan cadangan besi yang pada sebagian besar wanita sudah rendah (Djariyanto, 2008).
Batas kadar Hb remaja putri menurut World Health Organization (WHO 1997) untuk diagnosis anemia apabila kurang dari 12 gr/dl. Akibat dari anemia meliputi pertumbuhan anak akan terhambat, pembentukan sel otot kurang sehingga otot menjadi lemas, daya tahan tubuh akan menurun, prestasi berkurang dan terjadi perubahan perilaku (Djariyanto, 2008).
        Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam folat, dan/atau vitamin B12; semuanya berakar pada asupan yang tidak adekuat, ketersediaan hayati rendah (buruk), dan kecacingan yang masih tinggi. Dari ketiga penyebab tersebut, defisiensi vitamin B12 (anemia pernisiosa) merupakan penyebab yang paling jarang terjadi selama kehamilan. Jenis anemia lain yang juga kerap terjadi selama kehamilan adalah anemia aplastik dan anemia hemolitik yang diimbas oleh obat (Arisman, 2009).
           Di Indonesia, anemia gizi masih merupakan salah satu masalah gizi yang utama, disamping tiga masalah gizi lainnya, yaitu kurang kalori protein, defisiensi vitamin A, dan gondok endemik. Dampak kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat diamati dari besarnya angka kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakitan dan kematian janin, serta peningkatan resiko terjadinya berat badan lahir rendah. Penyebab utama kematian maternal, antara lain pendarahan pascapartum (disamping eklampsia dan penyakit infeksi) dan plasenta previa yang semuanya bersumber pada anemia defisiensi (Arisman, 2009).
Penilaian hematologik bertujuan untuk menentukan apakah pasien menderita anemia serta meenunjukkan zat-zat gizi yang melatarbelakangi anemia tersebut, dan terapi gizi yang tepat. Parameter yang diiukur adalah MCV, MCH, dan MCHC. Mean corpuscular (cell) volume (MCV) ialah rerata ukuran sel darah merah. Nilai MCV rendah hanya terjadi pada kasus kekurangan zat besi yang telah parah. Rendahnya nilai MCV merupakan indeks relatif anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi, radang kronis, thalesemia minor. Pada kasus anemia makrositik, nila MCV justru tinggi. Nilai MCHC sedikit dipengaruhi oleh usia setelah bayi melewati beberapa bulan pertama kehidupannnya. Sedangkan MCH ialah kandung hemoglobin dalam satu sel RBC. Nila MCH rendah pada defisiensi zat besi, namun tinggi pada anemia makrositik. Anemia makrositik adalah satu jenis anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat (Arisman, 2009).
              Menurut Suhardjo (1988) dalam skripsi Irianti (2008) menyatakan bahwa, perbedaan kadar hemoglobin pada masing-masing daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1.    Budaya pangan
Kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara mempunyai pengaruh yang kuat.
2.    Pola makanan
Di beberapa daerah pedesaan di Asia Tenggara umumnya makan satu atau dua kali sehari. Cara penyiapan pangan tradisional menggunakan bahan bakar sedikit sekali dan cenderung mempertahankan zat gizi yang terdapat dalam pangan.
3.    Pembagian makanan dalam keluarga
Kekurangan pangan yang parah dalam rumah tangga akan menyebabkan kecukupan gizi anggota keluarga terganggu. Kekurangan yang kronik akan berpengaruh terhadap kadar hemoglobin.
4.    Besar keluarga
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga.
5.    Faktor pribadi
Faktor pribadi dan kesukaan yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi penduduk.
6.    Pengetahuan gizi
7.    Preferensi
Suatu bahan makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial dan budaya tetapi juga dari sifat fisiknya.
8.    Status kesehatan
Tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang.
9.    Segi Psikologi
Sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak.
10.    Kepercayaan terhadap makanan.
Manusia selalu berpikir dalam menentukan menu dari makanan yang akan dikonsumsi. Bahwa makanan tertentu akan memberikan dampak bagi tubuh mereka.
Nilai normal hemoglobin yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gm/100 ml untuk pria dan 12-16 gm/dl untuk wanita (gram/100 ml sering disingkat dengan gm % atau gm/dl). Beberapa literature lain menunjukkan nilai yang lebih rendah, terutama pada wanita, sehingga mungkin pasien tidak dianggap menderita anemia sampai Hb kurang dari 13 gm/100 ml pada pria dan 11 gm/100 ml untuk wanita (Supariasa, 2002).
    Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli, dan yang paling canggih adalah metode cyanmethemoglobin. Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisis dengan HCL menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang segera beraksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna coklat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar  (hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar. Karena yang membandingkan adalah mata telanjang, maka subjektivitas sangat berpengaruh. Disamping faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman, penyinaran dan sebagainya dapat mempengaruhi hasil pembacaan (Supariasa, 2002).
Meskipun demikian pemeriksaan untuk di daerah yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode Sahli ini memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya dapat diandalkan (Suapriasa, 2002).
Metode yang lebih canggih adalah metode cyanmethemoglobin. Pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosianida menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih objektif. Namun, fotometer ini masih cukup mahal, sehingga belum semua laboratorium memilikinya (Supariasa, 2002).
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yaitu peningkatan status gizi masyarakat. Suatu status gizi yang baik akan mempengaruhi status kesehatan dan prestasi belajar seseorang. Masalah gizi perlu perhatian yang lebih khusus untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masalah gizi di Indonesia ada empat yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Yodium (GAKY), dan Kurang Vitamin A (KVA) (Supariasa, 2002).
Menurut Penelitian Indah Indriati (2001:1) dalam skripsi Wijayanti (2005), Anemia merupakan salah satu masalah di Indonesia yang harus ditanggulangi secara serius, terutama anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi besi adalah karena jumlah zat besi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Selain itu berbagai faktor juga dapat mempengaruhi terjadinya anemia gizi besi, antara lain kebiasaan makan, pola haid, pengetahuan tentang anemia status gizi. Akibat anemia gizi besi adalah produktivitas rendah, perkembangan mental dan kecerdasan terhambat, menurunnya kekebalan terhadap infeksi, morbiditas dan lain-lain. Prevalensi anemia pada usia sekolah menurut hasil SKRT tahun 1995 yaitu 57,1 %.
Achmad Djaeni, (2004:70) dalam skripsi Wijayanti (2005) mengatakanbahwa, defisiensi zat besi terutama berpengaruh pada kondisi gangguan fungsi hemoglobin yang merupakan alat transport oksigen. Oksigen diperlukan pada banyak reaksi metabolik tubuh. Pada anak-anak sekolah telah ditunjukkan adanya korelasi antara kadar hemoglobin dan kesanggupan anak untuk belajar. Dikatakan bahwa pada kondisi anemia daya konsentrasi dalam belajar tampak menurun.
Asupan besi yang tidak memadai akan: meningkatkan absorpsi besi dari makanan, memobilisasi simpanan zat besi dalam tubuh, mengurangi transportasi besi ke sumsum tulang dan menurunkan kadar hemoglobin sehingga akhirnya terjadi anemia karena defisiensi zat besi (Gibney dkk, 2009)
Dalam penelitian Indah Indriati dalam skripsi Wijayanti (2005), mengatakan bahwa remaja berisiko tinggi menderita anemia, khususnya kurang zat besi, pada saat mengalami pertumbuhan yang sangat cepat yaitu masa puber. Dalam pertumbuhan tubuh membutuhkan nutrisi dalam jumlah banyak dari zat besi. Bila zat besi yang dipakai untuk pertumbuhan kurang dari yang diproduksi tubuh, maka terjadilah anemia. Remaja putri berisiko lebih tinggi daripada remaja putra.
      Pearce, Evelyn C, (1999:134) dalam skripsi Wijayanti (2005) menyatakan bahwa pengertian lain hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin mempunyai afinitas terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan. Sel-sel darah merah mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam cairan sel sampai sekitar 34 gm/dl sel. Konsentrasi ini tidak pernah meningkat lebih dari nilai tersebut, karena ini merupakan batas metabolic dari mekanisme pembentukan hemoglobin sel. Selanjutnya pada orang normal, persentase hemoglobin hampir selalu mendekati maksimum dalam setiap sel. Namun bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam darah merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel kurang.
       Guyton dan Hall, (1997:530) dalam skripsi Wijayanti (2005) menyatakan bahwa, bila hematokrit (persentase sel dalam darah normalnya 40 sampai 45 persen) dan jumlah hemoglobin dalam masing-masing sel nilainya normal, maka seluruh darah seorang pria rata-rata mengandung 16 gram/dl hemoglobin, dan pada wanita rata-rata 14 gram/dl.
       Slamet Suyono, dkk, (2001:496) dalam skripsi Wijayanti (2005) menyatakan bahwa, hemoglobin dibentuk dalam sitoplasma sel sampai stadium retikulosit. Setelah inti sel dikeluarkan, hilang juga RNA dari dalam sitoplasma, sehingga dalam sel darah merah tersebut tidak dapat dibentuk protein lagi, begitu juga berbagai enzim yang sebelumnya terdapat dalam sel darah merah dan protein membran sel.
        Guyton dan Hall, (1997:530) dalam skripsi Wijayanti (2005) menyatakan bahwa, pembentukan hemoglobin dimulai dalam proeritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit, karena ketika retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit hemoglobin selama beberapa hari berikutnya.
       R. Gandasoebrata, (2001:13) dalam skripsi Wijayanti (2005) menyatakan bahwa kadar hemoglobin darah ditentukan dengan bermacam-macam cara antara lain: cyanmethemoglobin, sahli seperti yang telah dijelaskan pada peragraf sebelumnya, dan talquist.
a.    Hemoglobin darah diubah menjadi sianmethemoglobin (hemoglobinsianida) dalam larutan yang berisi kaliumsianida. Absorbansi larutan diukur pada gelombang 540 nm atau filter hijau. Larutan Drabkin yang dipakai pada cara ini mengubah hemoglobin, oksihemoglobin, methemoglobin dan karboksihemoglobin menjadi sianmethemoglobin. Sulfhemoglobin tidak berubah dan karena itu tidak ikut diukur .hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dengan memakai cara cyanmethemoglobin dan spektrofotometer hanya boleh menyebut satu angka (digit) di belakang tanda desimal; melaporkan dua digit sesudah angka desimal melampaui ketelitian dan ketepatan yang dapat dicapai dengan metode ini. Variasi-variasi fisiologis juga menyebabkan digit kedua di belakang tanda desimal menjadi tanpa makna.
b.    Cara Sahli ini bukanlah cara teliti. Kelemahan metodik berdasarkan kenyataan bahwa kolorimetri visual tidak teliti, bahwa hematin asam itu bukan merupakan larutan sejati dan bahwa alat itu tidak dapat distandardkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam, umpamanya karboxyhemoglobin, methemoglobin dan sulfhemoglobin. Kesalahan yang biasanya dicapai oleh ± 10 % kadar hemoglobin yang ditentukan dengan cara Sahli dan cara-cara kolorimetri visual lain hanya patut dilaporkan dengan meloncat-loncat ½ g/dl, sehingga laporan menjadi ump, 11,11½, 12, 12½, 13 g/dl. Janganlah melaporkan hasil dengan memakai angka  desimal seperti 8,8; 14; 15,5 g/dl ketelitian dan ketepatan cara sahli yang kurang memadai tidak membolehkan laporan seperti itu.  Hemoglobinometer yang berdasarkan penetapan hematin asam menurut Sahli dibuat oleh banyak pabrik. Perhatikanlah bahwa bagian-bagian alat yang berasal dari pabrik yang berlainan biasanya tidak dapat saling dipertukarkan: tabung pengencer berlainan diameter; warna standard berlainan intensitasnya; dll.
Selain cara sahli ada pula cara-cara lain yang berdasarkan kolorimetri dengan hematin asam; di Indonesia cara sahli masih banyak digunakan di laboratorium-laboratorium kecil yang tidak mempunyai fotokolorimeter. Yang banyak dipakai di laboratorium klinik ialah cara-cara fotoelektrik dan kolorimetrik visual .
c.    Cara Talquist mempunyai kesalahan yang paling besar dibandingkan cara pemeriksaan yang lain. Cara ini paling mudah dilakukan. Hanya dengan mengambil darah dari ujung jari, teteskan pada kertas talquist kemuadian cocokan dan baca pada standard yang ada.

dari berbagai sumber, tpi sumbernya itu jurnal penelitian dan buku, jadi insyAllah info yg diberikan cukup akurat... selamat membaca... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar